Laman

Selasa, 27 Maret 2012

INILAH ANAK JS,,,,!!!!!








Makalah : Tindak Pidana Perikanan

Makalah : Tindak Pidana Perikanan
Sumber : Arsip Kuliah Hukum Pidana Khusus oleh Achmad R Hamzah
BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Tidak ada seorangpun yang akan meragukan pernyataan bahwa negeri yang dinamai Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya. Sejak ribuan tahun lalu, tanah ini telah menjadi tujuan migrasi dari banyak bangsa-bangsa yang mencari kemakmuran. Bangsa-bangsa dari tanah Hindia, dataran Indocina dan entah dari mana lagi membangun perahu-perahu agar dapat sampai ke tanah impian mereka. Berabad-abad kemudian, Jawadwipa dan Swarnadwipa disebut-sebut dalam berbagai kitab sejarah di banyak negeri asing, dipuji-puji karena kekayaan alamnya.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan terdiri dari 17.508 pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta Km2 (0.3 juta Km2 perairan territorial, 2.8 juta Km2 perairan nusantara) atau 62 % dari luas teritorialnya.
Perairan yang berada di kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional, mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang sangat potensial.
Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya tentunya dengan mengutamakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Wilayah perairan yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan seperti illegal fishing.
Pada tahap inilah peran hukum khususnya hukum pidana  sangat dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat menggangu stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan sumber daya peikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut akan sangat tergantung pada sapek operasionalnya. Disinilah peran sanksi yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan telah dirumuskan sanksi  pidana untuk beberapa jenis perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana perikanan. Efektivitas sistem sanksi pidana dalam  Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kebijakan lingkungan akan sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satu diantaranya adalah perumusan kaidah hukumnya itu sendiri.
  1. B. Rumusan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas dan melebar, maka dalam makalah hukum ini penulis hanya akan melakukan pembahasan dengan rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Undang-undang apa sajakan yang mempunyai relevansi di bidang perikanan ?
  2. Bagaimana unsur-unsur delik atau tindak pidana beserta ancaman pidananya dalam undang-undang tersebut ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  1. A. Definisi Hukum Pidana
Dalam kamus hukum karya Sudarsono (1992) diberikan pengertian bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dari pengertian diatas dapat dilihat 3 (tiga) unsur utama dalam hukum pidana yaitu :
  1. Mengatur tentang perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum
  2. Bahwa perbuatan tersebut dapat berdampak pada terganggunya kepentingan umum.
  3. Bahwa perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana.
Rusli Efendi (1986 : 1) memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut.
Lebih lanjut menurut Simons (PF Lamintang, 1996 : 3) membagi hukum pidana menjadi hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, artinya keseluruhan dari larangan dan keharusan yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum telah dikaitkan dengan suatu  penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu penghukuman, dan keseluruhan dari peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat-hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumnya itu sendiri.
Sementara hukum dalam arti subjektif mempunyai dua pengertian, yaitu :
  1. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum.  Yakni hak telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.
  2. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukuman.
  1. B. Definisi Dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Pembuat undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbarfeit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbarfeit” tersebut.
Lamintang (1996 : 181)  memberikan penjelasan bahwa, perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sementara strafbaar berarti dapat dihukum. Sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.
R. Abd. Djamali (2005 : 175) menyatakan bahwa, pada dasarnya tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.  Suatu peristiwa hukum hanya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :
  1. Objektif
Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
  1. Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).
  1. C. Subjek Hukum Pidana Lingkungan
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Lebih singkat dapat dikatakan bahwa subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
C.1.  Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum.
Dalam hukum pidana modern telah terjadi semacam kesepakatan diantara para ahli bahwa badan hukum merupakan subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat pula dimintai pertanggungjwaban secara pidana. Kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan dan memidana badan hukum didorong oleh kenyataan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, dapat melakukan perbuatan sendiri, terlepas dari para pemilik atau pengurusnya. Dalam hukum pidana positif Indonesia kemungkinan untuk mempertanggungjawabkan badan hukum ini dimulai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7/Drt/1995 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam pasal 45 dan 46. Penegasan ini mengakhiri perdebatan dan atau keraguan pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Oleh karena itu sekarang sudah tidak ada lagi keragu-raguan untuk mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan.
Meskipun secara yuridis formal telah ada kejelasan untuk mempertanggungjwabakan badan hukum secara pidana, akan tetapi dalam pelaksanaannya akan menemui banyak kendala. Mempertanggungjawabkan badan hukum secara pidana artinya juga harus menyediakan sistem sanksi yang cocok untuk diterapkan terhadap badan hukum. Sanksi tradisional berupa perampasan kemerdekaan menurut sifatnya tidak cocok dengan karakteristik badan hukum itu sendiri. Dilihat secara keseluruhan maka jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum adalah berupa pidana denda dan tindakan tata tertib (R.S Budi Prastowo, 2003)
  1. D. Definisi Hukum Pidana Perikanan
Memberikan definisi hukum pidana perikanan maka akan mengacu pada definisi hukum pidana lingkungan itu sendiri.
RB. Budi Prastowo (2003) memberikan definisi hukum pidana lingkungan sebagai pendayagunaan asas-asas, kelembagaan, sistem, dan sanksi hukum pidana untuk menegakkan norma hukum lingkungan.
Selanjutnya bahwa, mengingat bahwa hukum pidana perikanan adalah “lex specialis” dari hukum pidana lingkungan sebagai “lex generali” maka dapat diberikan definisi hukum pidana perikanan adalah penerapan keseluruhan asas, kelembagaan, sistem dan sanksi hukum pidana untuk menegakkan norma hukum lingkungan di bidang perikanan.
BAB III
PEMBAHASAN
Adapun Undang-undang yang mempunyai relevansi di bidang perikanan adalah sebagai berikut  :
a.      UU No 1 Tahun 1973 Tentang Landas kontinen
b.      UU No 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekskulisif Indonesia
c.       UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
  1. A. Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen hanya dikenal tindak pidana kejahatan yaitu :
a)Tidak memenuhi Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 dan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-undang UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas kontinen
A1.    Unsur-unsur Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen.
a)Pasal 11
  • Barang siapa
  • Yang tidak memenuhi Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 dan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-undang UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas kontinen.
  • Diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
B.      Rumusan Tindak Pidana Dalam UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEEI
Dalam Undang-undang No 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI dikenal tindak pidana yaitu :
a)     Melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
b)     Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
c)     Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan.
B1.   Unsur-unsur Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEE
a)Pasal 16 (1)
  • Barang siapa
  • Melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
  • Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah).
b)     Pasal 16 (3)
  • Barangsiapa
  • Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
  • Diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lingkungan hidup.
c)     Pasal 17
  • Barangsiapa
  • Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1),
  • Dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan,
  • Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).
C.      Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Dalam makalah ini akan dibagi ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan.
1. Kategori Pelanggaran
a)       Melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
b)       Kesengajaan melakakan perbuatan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
c)        Kealpaan melakukan perbuatan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
d)       Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
e)       Kesengajaan melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
f)          Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan.
g)       Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
h)        Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
i)          Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
j)          Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan
k)        Berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
l)          Melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan
m)     Pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
2.  Kategori Kejahatan
a)       Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
b)       Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
c)        Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
d)       Kesengajaan melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
e)       Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
f)          Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
g)       Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
h)        Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
i)          Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
j)          Kesengajaan memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
k)        Kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
l)          Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
m)     Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia  melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
n)        Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing  melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
  • o)       Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
C1.   Unsur-unsur Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
  1. 1. Kategori Pelanggaran
a)        Pasal 87 (1)
  • Setiap orang ;
  • yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4),
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
b)        Pasal 87 (2)
  • Setiap orang ;
  • yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4);
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
c)        Pasal 89
  • Setiap orang ;
  • yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan ;
  • dengan tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3),
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
d)        Pasal 90
  • Setiap orang ;
  • yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia ;
  • dengan tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
e)        Pasal 95
  • Setiap orang ;
  • yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan
  • dengan tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1),
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).
f)          Pasal 96
  • Setiap orang ;
  • yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • dengan tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
g)        Pasal 97 (1)
  • Nakhoda ;
  • yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan ;
  • yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
h)        Pasal 97 (2)
  • Nakhoda ;
  • yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing ;
  • yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI ;
  • namun membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2),
  • dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
i)          Pasal 97 (3)
  • Nakhoda ;
  • yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan ;
  • dengan tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3),
Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
j)           Pasal 98
  • Nakhoda ;
  • yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) ;
  • Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).
k)        Pasal 99
  • Setiap orang asing ;
  • yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • dengan tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
l)           Pasal 100
  • Setiap orang ;
  • yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ;
  • dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
  1. 2. Kategori Kejahatan
a)        Pasal 84 (1)
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan ;
  • dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
  • yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
b)        Pasal 84 (2)
  • Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan ;
  • dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
  • yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
c)         Pasal 84 (3)
  • Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan ;
  • dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
  • yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
d)        Pasal 84 (4)
  • Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan ;
  • dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
  • yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
e)        Pasal 85
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan ;
  • yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
f)          Pasal 86 (1)
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan
  • Perbuatan tersebut  mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
g)        Pasal 86 (2)
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
  • membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
h)         Pasal 86 (3)
  • Setiap orang
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
  • membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
i)           Pasal 86 (4)
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
j)           Pasal 88
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
k)         Pasal 91
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan
  • dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
l)           Pasal 92
  • Setiap orang ;
  • dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
m)      Pasal 93 (1)
  • Setiap orang  yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia
  • melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas ;
  • dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
n)         Pasal 93 (2)
  • Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing ;
  • melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
  • dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) ;
  • dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000, 00 (dua puluh miliar rupiah).
  • o)        Pasal 94
    • Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
    • melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) ;
    • dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis. Jakarta : PT. Gunung Agung.
Djamali, R. Abdul. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Effendi, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : Leppem-UMI
Lamintang. 1996. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Adiya Bakti.
Prastowo, RB. Budi. 2003. Jurnal Pro Justitia. Universitas Katolik Parahyangan
Susilo, R. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor : Politea.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.

Mengkaji Tindak Pidana Perikanan

Mengkaji Tindak Pidana Perikanan



Pemboman Ikan
Pemboman Ikan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dikenal beberapa jenis delik perikanan, diatur dalam pasal 86 sampai pasal 101. adapun delik perikanan ini terbagi atas, delik pencemaran, pengrusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, delik pengelolaan sumberdaya ikan dan delik usaha perikanan tanpa izin. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji delik pencemaran, pengerusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan terlarang
Ketentuan mengenai delik ini diatur dalam pasal 84 sampai pasal 87. Pada pasal 84 ayat (1) rumusannya sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) undang-undang perikanan yang dimaksudkan adalah larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan sejenisnya yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Pada pasal 84 juga ditujukan kepada nahkoda atau pemimpin kapal, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal hal ini diatur dalam ayat 2. pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan, hal ini diatur dalam ayat 3. sedangkan pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, diatur dalam ayat 4. Hal ini semua ditujukan bilamana dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.
Kemudian pada Pasal 85 yang diubah dal;am UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan:
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Ketentuan dalam pasal 9 mengatur tentang penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang sesuai dengan syarat atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu oleh negara termasuk juga didalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh negara.
Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.
Sedangkan pasal 86 berisi larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, yang dimaksud dengan pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan dengan mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen l

HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN DAN TINDAK PIDANA PERIKANAN


A. PENGANTAR
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ± 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun pertahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal fishing .
Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. PenguTambah Gambarnaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan menjadi paling lambat sampai dengan 6 Oktober 2007. Kini pengadilan perikanan telah terbentuk lebih dari satu tahun lamanya.
Sebagai suatu kebijakan dalam penanggulangan illegal fishing yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi , maka UU Perikanan telah memuat regulasi/formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan. Hukum acara dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan pada pengadilan perikanan dilakukan menurut KUHAP kecuali telah ditentukan secara khusus dalam UU Perikanan. Tindak pidana perikanan juga telah mendapatkan legitimasi dalam Bab XV, yaitu dalam Pasal 84 s/d Pasal 105 UU Perikanan.
Makalah ini akan menganalisis mengenai kelemahan-kelemahan dalam kebijakan formulasi hukum acara pidana dan tindak pidana perikanan dalam UU Perikanan, karena tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pananggulangan kejahatan melalui “penal policy”. Kelemahan pada kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektifitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana .

B. HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN
Hukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan Bab XIV. Pada hakikatnya hukum acara dalam UU Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh UU Perikanan.
Di tinjau dari aspek formulasi hukum acara, setelah empat tahun UU perikanan berlaku, kiranya semakin tampak berbagai kelemahan mendasar yang menghambat penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana perikanan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu :
Pertama, pembentukan Pengadilan Perikanan didasarkan pada Pasal 71 ayat (1) UU Perikanan. Pembentukan pengadilan khusus perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada UU Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : ”Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Dari segi teknik perundang-undangan, frasa ”diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri .
Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.
Ketiga, penyidik tindak pidana di bidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Tampaknya ketentuan ini dimaksudkan sebagai legitimasi bagi PPNS, Perwira TNI AL maupun Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang terjadi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Akan tetapi UU Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 Th. 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang menentukan bahwa penyidik di ZEEI adalah Perwira TNI AL, sehingga terhadap tindak pidana dengan locus delicty di ZEEI sering terjadi tarik menarik kewenangan antar penyidik. Sesuai UU ZEEI sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai ZEEI dibandingkan UU Perikanan, maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly, kewenangan melakukan penyidikan di ZEEI hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL .
Keempat, persidangan pengadilan perikanan dilakukan dengan 1 (satu) hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Pasal 78). Apabila keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan untuk menutupi kelemahan sumber daya manusia yang dianggap ada, hal ini menjadi rancu karena keberadaan hakim ad hoc hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi tidak dikenal adanya hakim ad hoc perikanan.
Kelima, jangka waktu penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat, yaitu 20 hari ditingkat penuntutan sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA) masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara. Membandingkannya dengan KUHAP, penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.
Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan kondisi riil dilapangan. Pada tingkat penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga penyelesaian di kejaksaan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan akan berbenturan dengan mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun pemanggilan saksi atau terdakwa agar syah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan (rentut) yang sangat birokratis hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.
Tindak pidana perikanan telah merugikan negara begitu besar dengan hilangnya kekayaan laut yang seharusnya dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, memegang aturan secara strict law dengan cara hakim pengadilan perikanan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima karena jangka waktu 30 hari telah habis sebagai akibat penuntut umum belum dapat mengajukan saksi-saksi atau penuntut umum belum mengajukan tuntutan pidananya akan berbenturan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan jangka waktu 30 hari telah digunakan, pada putusan akan melekat asas ne bis in idem. Perkara yang diputus demikian tidak dapat diajukan kembali kepengadilan oleh penuntut umum sehingga potensi kerugian negara semakin tidak terhindarkan.

C. FORMULASI TINDAK PIDANA PERIKANAN
Sebagaimana lazimnya dalam kebijakan formulasi tindak pidana, dalam UU Perikanan telah diformulasikan dengan memperhatikan 3 (tiga) substansi pokok dari hukum pidana. Permasalahan pokok tersebut adalah : pertama, perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau disingkat dengan masalah “tindak pidana”, kedua, syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan” dan tiga, sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah pidana.
1. Rumusan Tindak Pidana
Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 103 UU Perikanan dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 adalah kejahatan sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut ternyata dalam perumusannya sama-sama menempatkan kesalahan pelaku sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 90 dan Pasal 87 mensyaratkan adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari kesalahan. Padahal doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelict) dan untuk dapat dipidananya pelaku tidak perlu menilai sikap bathin pelaku. Terbuktinya pelaku melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku. Hal ini berbeda dengan kejahatan yang dalam pemidanaannya mensyaratkan adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) .
2. Rumusan Pertanggungjawaban Pidana
Perkembangan hukum pidana telah menganggap bahwa korporasi adalah subyek hukum dalam hukum pidana sehingga korporasi dapat melakukan tindak pidana sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam penerapannya ini dimungkinkan walaupun KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban pidana oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon), yaitu dengan adanya Pasal 103 KUHP sebagai pasal jembatan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus.
Dalam UU Perikanan telah diakui korporasi sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana. Akan tetapi korporasi tidak ditentukan dapat dijatuhi pidana, karena yang dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya (Pasal 101) . Pemidanaan hanya kepada pengurus tidak cukup menjadi represi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Seharusnya korporasi juga ditentukan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana seperti dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi , yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah :
1) badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan; atau
2) mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin/penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian; atau
3) kedua-duanya (a dan b).
3. Rumusan Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam UU Perikanan dirumuskan secara kumulatif kecuali rumusan pelanggaran pada Pasal 97 dan Pasal 100 yang hanya merumuskan pidana denda. Pada perkara yang dikategorikan sebagai pelanggaran lainnya, yaitu Pasal 87 ayat (1) dirumuskan sanksi pidananya adalah penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,- . Perumusan demikian terkesan tidak membeda-bedakan antara kejahatan dan pelanggaran, karena pada umumnya pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau pidana yang lebih ringan dari kejahatan .
Terhadap pelaku tindak pidana warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI tidak dapat dijatuhi pidana penjara kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 102) . Ketentuan ini paralel dengan Pasal 73 ayat (3) United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang tidak membenarkan peraturan negara pantai melaksanakan hukuman penjara (imprisonment) atau hukuman badan (corporal punishment), jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara bersangkutan. Kerancuannya adalah UU Perikanan tidak mengatur pengganti apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa. Penggunaan terobosan dengan melakukan perampasan kapal sebagai pengganti denda tidak relevan, mengingat barang bukti telah ditentukan dapat dirampas untuk negara (Pasal 104 ayat (2)). Dalam praktik pengganti denda tersebut menggunakan dasar Pasal 30 KUHP yaitu pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimal 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan (recidive/concursus).

D. PENUTUP
Pemberlakuan UU Perikanan sudah lebih dari empat tahun dan pengadilan perikanan juga sudah lebih dari satu tahun dioperasionalkan. Akan tetapi pembaharuan hukum pidana harus selalu dilakukan mengingat ditemukannya kelemahan-kelamahan mendasar pada UU Perikanan. Kelemahan-kelemahan yang berasal dari UU Perikanan akan menyulitkan dalam aplikasi mapun eksekusinya sehingga menghambat efektifitas dalam penegakannya.
Revisi terhadap UU Perikanan sangat diperlukan untuk meminimalisir rumusan-rumusan tindak pidana perikanan yang mengandung kelemahan-kelemahan. Hasil revisi tersebut segera disosialisasikan kepada penegak hukum dan masyarakat agar menumbuhkan kesadaran hukum dan menciptakan partisipasi masyarakat yang menentukan efektifitas dalam penanggulangan tindak pidana perikanan.
Apabila keberadaan pengadilan perikanan akan dipertahankan, maka perlu diatur tersendiri dalam undang-undang. Hukum Acara Pengadilan Perikanan harus sejalan dengan KUHAP dan memperhatikan kondisi riil di lapangan. Sarana dan prasarana dalam penegakan hukum juga harus diadakan, dilengkapi dan ditingkatkan.

Penulis,

Hasanudin

Catatan :
Makalah dibuat sebelum diundangkannya Undang-undang Pengadilan Perikanan Terbaru


DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti 1998.

------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Adiya Bakti, 2003.

K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia : Jakarta, 1983.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2002.

Muchsin, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Perikanan, Jakarta : Varia Peradilan tahun XXI No. 247 Juni 2006.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto : Semarang, 1990.

www.indonesia.go.id, 26 Juli 2006.