Laman

Selasa, 27 Maret 2012

HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN DAN TINDAK PIDANA PERIKANAN


A. PENGANTAR
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ± 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun pertahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal fishing .
Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. PenguTambah Gambarnaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan menjadi paling lambat sampai dengan 6 Oktober 2007. Kini pengadilan perikanan telah terbentuk lebih dari satu tahun lamanya.
Sebagai suatu kebijakan dalam penanggulangan illegal fishing yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi , maka UU Perikanan telah memuat regulasi/formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan. Hukum acara dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan pada pengadilan perikanan dilakukan menurut KUHAP kecuali telah ditentukan secara khusus dalam UU Perikanan. Tindak pidana perikanan juga telah mendapatkan legitimasi dalam Bab XV, yaitu dalam Pasal 84 s/d Pasal 105 UU Perikanan.
Makalah ini akan menganalisis mengenai kelemahan-kelemahan dalam kebijakan formulasi hukum acara pidana dan tindak pidana perikanan dalam UU Perikanan, karena tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pananggulangan kejahatan melalui “penal policy”. Kelemahan pada kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektifitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana .

B. HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN
Hukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan Bab XIV. Pada hakikatnya hukum acara dalam UU Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh UU Perikanan.
Di tinjau dari aspek formulasi hukum acara, setelah empat tahun UU perikanan berlaku, kiranya semakin tampak berbagai kelemahan mendasar yang menghambat penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana perikanan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu :
Pertama, pembentukan Pengadilan Perikanan didasarkan pada Pasal 71 ayat (1) UU Perikanan. Pembentukan pengadilan khusus perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada UU Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : ”Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Dari segi teknik perundang-undangan, frasa ”diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri .
Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.
Ketiga, penyidik tindak pidana di bidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Tampaknya ketentuan ini dimaksudkan sebagai legitimasi bagi PPNS, Perwira TNI AL maupun Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang terjadi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Akan tetapi UU Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 Th. 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang menentukan bahwa penyidik di ZEEI adalah Perwira TNI AL, sehingga terhadap tindak pidana dengan locus delicty di ZEEI sering terjadi tarik menarik kewenangan antar penyidik. Sesuai UU ZEEI sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai ZEEI dibandingkan UU Perikanan, maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly, kewenangan melakukan penyidikan di ZEEI hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL .
Keempat, persidangan pengadilan perikanan dilakukan dengan 1 (satu) hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Pasal 78). Apabila keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan untuk menutupi kelemahan sumber daya manusia yang dianggap ada, hal ini menjadi rancu karena keberadaan hakim ad hoc hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi tidak dikenal adanya hakim ad hoc perikanan.
Kelima, jangka waktu penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat, yaitu 20 hari ditingkat penuntutan sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA) masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara. Membandingkannya dengan KUHAP, penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.
Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan kondisi riil dilapangan. Pada tingkat penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga penyelesaian di kejaksaan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan akan berbenturan dengan mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun pemanggilan saksi atau terdakwa agar syah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan (rentut) yang sangat birokratis hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.
Tindak pidana perikanan telah merugikan negara begitu besar dengan hilangnya kekayaan laut yang seharusnya dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, memegang aturan secara strict law dengan cara hakim pengadilan perikanan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima karena jangka waktu 30 hari telah habis sebagai akibat penuntut umum belum dapat mengajukan saksi-saksi atau penuntut umum belum mengajukan tuntutan pidananya akan berbenturan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan jangka waktu 30 hari telah digunakan, pada putusan akan melekat asas ne bis in idem. Perkara yang diputus demikian tidak dapat diajukan kembali kepengadilan oleh penuntut umum sehingga potensi kerugian negara semakin tidak terhindarkan.

C. FORMULASI TINDAK PIDANA PERIKANAN
Sebagaimana lazimnya dalam kebijakan formulasi tindak pidana, dalam UU Perikanan telah diformulasikan dengan memperhatikan 3 (tiga) substansi pokok dari hukum pidana. Permasalahan pokok tersebut adalah : pertama, perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau disingkat dengan masalah “tindak pidana”, kedua, syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan” dan tiga, sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah pidana.
1. Rumusan Tindak Pidana
Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 103 UU Perikanan dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 adalah kejahatan sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut ternyata dalam perumusannya sama-sama menempatkan kesalahan pelaku sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 90 dan Pasal 87 mensyaratkan adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari kesalahan. Padahal doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelict) dan untuk dapat dipidananya pelaku tidak perlu menilai sikap bathin pelaku. Terbuktinya pelaku melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku. Hal ini berbeda dengan kejahatan yang dalam pemidanaannya mensyaratkan adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) .
2. Rumusan Pertanggungjawaban Pidana
Perkembangan hukum pidana telah menganggap bahwa korporasi adalah subyek hukum dalam hukum pidana sehingga korporasi dapat melakukan tindak pidana sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam penerapannya ini dimungkinkan walaupun KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban pidana oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon), yaitu dengan adanya Pasal 103 KUHP sebagai pasal jembatan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus.
Dalam UU Perikanan telah diakui korporasi sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana. Akan tetapi korporasi tidak ditentukan dapat dijatuhi pidana, karena yang dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya (Pasal 101) . Pemidanaan hanya kepada pengurus tidak cukup menjadi represi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Seharusnya korporasi juga ditentukan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana seperti dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi , yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah :
1) badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan; atau
2) mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin/penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian; atau
3) kedua-duanya (a dan b).
3. Rumusan Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam UU Perikanan dirumuskan secara kumulatif kecuali rumusan pelanggaran pada Pasal 97 dan Pasal 100 yang hanya merumuskan pidana denda. Pada perkara yang dikategorikan sebagai pelanggaran lainnya, yaitu Pasal 87 ayat (1) dirumuskan sanksi pidananya adalah penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,- . Perumusan demikian terkesan tidak membeda-bedakan antara kejahatan dan pelanggaran, karena pada umumnya pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau pidana yang lebih ringan dari kejahatan .
Terhadap pelaku tindak pidana warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI tidak dapat dijatuhi pidana penjara kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 102) . Ketentuan ini paralel dengan Pasal 73 ayat (3) United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang tidak membenarkan peraturan negara pantai melaksanakan hukuman penjara (imprisonment) atau hukuman badan (corporal punishment), jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara bersangkutan. Kerancuannya adalah UU Perikanan tidak mengatur pengganti apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa. Penggunaan terobosan dengan melakukan perampasan kapal sebagai pengganti denda tidak relevan, mengingat barang bukti telah ditentukan dapat dirampas untuk negara (Pasal 104 ayat (2)). Dalam praktik pengganti denda tersebut menggunakan dasar Pasal 30 KUHP yaitu pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimal 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan (recidive/concursus).

D. PENUTUP
Pemberlakuan UU Perikanan sudah lebih dari empat tahun dan pengadilan perikanan juga sudah lebih dari satu tahun dioperasionalkan. Akan tetapi pembaharuan hukum pidana harus selalu dilakukan mengingat ditemukannya kelemahan-kelamahan mendasar pada UU Perikanan. Kelemahan-kelemahan yang berasal dari UU Perikanan akan menyulitkan dalam aplikasi mapun eksekusinya sehingga menghambat efektifitas dalam penegakannya.
Revisi terhadap UU Perikanan sangat diperlukan untuk meminimalisir rumusan-rumusan tindak pidana perikanan yang mengandung kelemahan-kelemahan. Hasil revisi tersebut segera disosialisasikan kepada penegak hukum dan masyarakat agar menumbuhkan kesadaran hukum dan menciptakan partisipasi masyarakat yang menentukan efektifitas dalam penanggulangan tindak pidana perikanan.
Apabila keberadaan pengadilan perikanan akan dipertahankan, maka perlu diatur tersendiri dalam undang-undang. Hukum Acara Pengadilan Perikanan harus sejalan dengan KUHAP dan memperhatikan kondisi riil di lapangan. Sarana dan prasarana dalam penegakan hukum juga harus diadakan, dilengkapi dan ditingkatkan.

Penulis,

Hasanudin

Catatan :
Makalah dibuat sebelum diundangkannya Undang-undang Pengadilan Perikanan Terbaru


DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti 1998.

------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Adiya Bakti, 2003.

K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia : Jakarta, 1983.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2002.

Muchsin, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Perikanan, Jakarta : Varia Peradilan tahun XXI No. 247 Juni 2006.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto : Semarang, 1990.

www.indonesia.go.id, 26 Juli 2006.

1 komentar: